KOMPAS, Kamis 24 September 2009.
Gelar memang bagi sebagian orang bahkan sebagian besar orang sangat penting dan berarti bagi dirinya, karena dengan gelar yang dimiliki tersebut, seseorang dapat menunjukan sebuah eksistensi dan suatu jenjang kehormatan yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain, Karena semakin tinggi gelar yang dimiliki oleh sesorang maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut dinilai oleh orang lain. Namun hal ini tidak semua orang menafsirkan bahwa semakin tinggi gelar maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut, sebagian bahwa beranggapan bahwa gelar merupakan suatu formalitas ataupun sebagai tanda saja, yang terpenting ialah bagaimana sesorang dapat berkompeten dan dapat terjun dimasyarakat. Karena banyak pula orang yang tidak mempunyai gelar namun ia dapat berkompeten didalam masyarakat, bahkan tidak sedikit pula yang lebih baik daripada orang-orang yang mempunyai gelar tersebut.
Namun yang dikhawatirkan adalah gelar yang terdapat atau melekat pada diri sesorang tidak diikuti oleh kemampuan atau keahlian yang sesuai dengan gelar yang dimiliki, sehingga membuat suatu problema atau masalah baru seperti pengangguran oleh kaum bergelar atau kaum intelektual yang mana pengangguran bergelar dinilai lebih berbahaya dibandingkan oleh penganguran yang berasal dari orang yang tidak mempunyai gelar karena hal ini dapat berdampak dan menimbulkan masalah sosial. Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa lebih dari 600.000 pengangguran yang bergelar sarjana dan setiap tahun jumlah tersebut semakin meningkat dan bertambah.
Masyarakat Indonesia sudah terbius dengan kehausan akan gelar, dan setiap orang ingin mempunyai gelar dan sebanyak mungkin gelar yang ingin dimiliki. Berbagai cara dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan gelar tersebut mulai dari jenjang yang formal yaitu pendidikan, membeli gelar, dan sebagainya untuk mendapatkan gelar tersebut bahkan akhir-akhir sedang marak-maraknya pembuatan ijazah palsu demi untuk mendapatkan gelar tersebut untuk daerah Jakarta mungkin sebagian orang sudah tidak asing dan mengetahui daerah pasar senen marak sekali dengan praktek penjualan ijazah palsu tersebut, bahkan yang lebih tragis lagi praktek ijazah palsu tersebut sebagian bermain dengan beberapa oknum-oknum didalam perguruan tinggi untuk mendapatkan legalitas ijazah tersebut yang padahal ijazah tersebut ilegal atau palsu. Ijazah yang sering dipalsukan adalah beberapa perguruan tinggi yang mempunyai nama di masyarakat dan mempunyai kredibilitas nilai yang cukup baik sehingga sering dipalsukan untuk kepentingan sesorang yang membeli ijazah palsu tersebut, seperti mencari pekerjaan dan lain sebagainya, karena paradigma sebagian besar masyarakat Indonesia selain mempunyai gelar yang banyak, asal muasal perguruan tinggi seseorang tersebut mendapatkan gelar juga mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk mendapatkan suatu hal tertentu seperti jabatan maupun pekerjaan tertentu karena sebagian lapangan pekerjaan yang ada khususnya lapangan pekerjaan di kota-kota besar seperti Jakarta lebih mengutamakan lulusan yang berasal dari perguruan tinggi negeri ataupun perguruan yang notabennya terkenal untuk merekrut calon-calon pegawainya bekerja pada perusahaan atau lapangan kerja yang dimaksud. Hal ini jelas sekali menggambarkan bahwa betapa suatu gelar sangat diinginkan oleh setiap orang dan dengan berbagai cara pula dilakukan seseorang tersebut untuk mendapatkan sebuah gelar pada dirinya.
Perguruan tinggi menangkap gejala ini dengan menyediakan berbagai layanan untuk mendapatkan gelar, baik melalui pendidikan sebenarnya maupun seadanya, bahkan ada beberapa yang menjual gelar. Perguruan tinggi membutuhkan gelar, dan bagi masyarakat yang memunyai uang akan dengan mudah untuk mendapatkan gelar tersebut, sedangkan masyarakat yang tidak mampu tidak bisa untuk mendapatkan gelar tersebut. Mudahnya masyarakat untuk mendapatkan gelar membuat masyarakat berduyun-duyun untuk lulus dari perguruan tinggi demi mendapatkan gelar tersebut walaupun terkadang sesorang yang lulus dan mendapatkan gelar tersebut tidak mempunyai keahlian untuk bersaing didalam masyarakat karena tidak di ikuti dangan kemampuan, keahlian dan berkompetensi didalam mencari lapangan pekerjaan sehingga timbulah pangangguran yang bergelar ini. Selain itu sebagian masyarakat manjadikan pendidikan hanya formalitas saja untuk mendapatkan gelar tersebut
Paradigma yang lalu kini mulai berubah menjadi paradigma yang baru dan telah banyak diterapkan oleh instansi, perusahaan industri maupun swasta didalam merekrut pegawai-pegawainya, bila dahulu instansi atau perusahaan merekrut seorang pegawai cenderung bersifat diskriminasi dan sebelah mata, karena perusahaan merekrut dengan cara melihat calon pegawainya tersebut bergelar atau tidak, merupakan lulusan dari perguruan tinggi yang terkemuka atau tidak dan lain sebagainya, semakin tinggi poin calon pegawainya semakin besar pula kesempatan kerja yang akan didapatkannya begitu pula sebaliknya. Namun paradigma yang kini berlaku tidaklah seperti paradigma yang sebelumnya, yang hanya berpedoman dan melihat dari jenjang gelar semata-mata, melainkan dengan kemampuan taupun keahlian yang dimiliki. Pola rekrutmen pegawai yang kini diterapkan ialah berdasarkan kemampuan, keahlian dan kompetensi, tidak hanya semata-mata gelar yang dimiliki.
Namun untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil ( PNS ), seleksi yang dilakukan hanya berdasarkan dari gelar bukan dari keahlian dan kemampuan semata, serta sebagian masyarakat masih sangat antusias untuk menjadi PNS sehingga mereka memburu gelar dengan berbagai cara untuk menjadi PNS, karena perjenjangan pada struktur PNS hanya memerhatikan pada masa kerja dan gelar yang dipunyai, semakin tinggi gelar yang dipunyai semakin tinggi pula golongan PNS yang didapat, semakin lama masa kerja PNS tersebut maka semakin tinggi juga golongan yang didapat, namun setiap orang pasti menginginkan suatu hal yang waktu yang lebih cepat namun dapat menghasilkan suatu yang lebih besar daripada dengan waktu yang lebih lama, hasil yang didapat sama bahkan lebih rendah. Pemikiran itulah mungkin yang menjadi suatu momok para PNS kita, seperti contoh : seseorang dengan lulusan D3 menjadi PNS dengan golongan IIc, lalu seseorang dengan lulusan S1 apabila menjadi PNS maka ia mendapatkan golongan IIIa. Seseorang dengan pangkat golongan IIc apabila ia ingin naik pangkat ke golongan IIIa, maka ia harus mempunyai prestasi dan masa kerja kurang lebih sekitar 5-6 tahun untuk dapat menjadi golongan IIIa, daripada ia harus bekerja kurang lebih 6 tahun, lebih baik ia meneruskan kuliah ke jenjang S1 kurang lebih 1-2 tahun, mendapatkan gelar lalu ia menjadi PNS otomatis golongan yang ia dapat bukan lagi IIc melainkan langsung golongan IIIa. Begitu pula bila seseorang lulusan S2 dan S3 bila menjadi PNS maka ia akan mendapatkan golongan yang tinggi yaitu S2, golongan IIIb dan S3 dengan golongan IIIc, daripada harus bekerja lama untuk mendapatkan gelar yang lebih tinggi lebih baik melanjutkan kuliah kembali ke jenjang S2 atau S3 lalu bekerja menjadi PNS maka ia langsung mendapatkan golongan tinggi.
Keadaan-keadaan dan fakta seperti inilah yang sering terjadi di Indonesia dan tidak bisa dipungkiri kebenarannya, memang bila dilihat dari segi efisiensi waktu untuk mendapatkan pangkat yang lebih tinggi dengan cara seperti inilah lebih cepat dan menggiurkan, namun sebagian dari mereka tidak memperhatikan dan tidak mengutamakan keahlian dan kemampuan untuk berkompeten, bahkan ada kasus seorang PNS golongan IIc lebih mampu berkompeten dan memberi sebuah terobosan baru tentang bidang pekerjaannya di bandingkan dengan seorang PNS dengan golongan IIIb. Dari kasus ini mungkin masyarakat bisa menilai bahwa pangkat, gelar dan golongan tidak selamanya berjalan sesuai kriteria golongan yang ia miliki, yang terpenting ialah bagaimana ia mampu menjadi seorang yang mempunyai keahlian dan kemampuan.
Badan Kepegawaian Negara dan Kantor Menneg PAN menganggap bahwa para penyandang gelar tersebut mempunyai kemampuan yang memadai, padahal kenyataannya tidak seedikit dari mereka hanyalah memburu gelar dengan berbagai cara, termasuk cara yang tidak wajar yaitu dengan mebeli gelar atau mengikuti kelas jauh, kelas eksekutif, kelas sabtu minggu, kelas pararel, kelas eksistensi, dan sebagainya hingga membuat atau membeli ijazah palsu. Hal ini dilakukan semata-mata demi mendapatkan gelar dan mengejar pangkat semata tanpa diikuti dengan kemampuan dan keahlian selama ia mengikuti perkuliahan.
Mengatasi hal ini mungkin dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan cara menanggalkan gelar yang ada pada diri kita seperti pada kartu nama, undangan, panggilan pada suatu acara, ataupun pada kartu tanda pengenal ( KTP ) dan lain sebagainya yang bersangkutan dengan gelar tersebut, memang gelar merupakan salah satu wujud dari bentuk dari apresiasi dan pengharagaan pada diri seseorang, namun alangkah baiknya apabila sesorang yang mempunyai gelar tersebut dapat menggunakan gelar tersebut secara bijak dan dapat menggunakan sesuai dengan kriteria tempat dan waktu yang ada. Pada dasarnya sebuah nama saja sudah sangat membanggakan apabila mempunyai suatu keahlian, sedangkan sebuah gelar belum tentu bahkan sama sekali tidak memberi nilai lebih terhadap keahlian. Sehingga baiknya kita tidak terlalu terbius dan terlalu ambisius untuk mendapatkan sebuah gelar pada diri kita, karena pada dasarnya kemampuan dan keahlian lah yang perlu diterapkan pada saat ini terlebih pada masa-masa sekarang masa sulit, krisis global, dan lain sebagainya, setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan berlomba-lomba pula unutk dapat bertahan hidup khususnya bertahan untuk hidup dikota-kota besar seperti Jakarta, siapa yang kuat ialah yang bertahan atau menang, hukum rimba memang mungkin berlaku di kota besar semacam Jakarta karena begitu besarnya persaingan dan kompetensi untuk bertahan hidup, ironis memang, tetapi siklus seperti ini yang terkadang membuat seseorang untuk mencoba suatu hal baru dan dipaksa untuk berkompeten, dan tidak jarang pula dapat melahirkan suatu keahlian tertentu yang mungkin tidak terlalu tersorot di ibukota namun berdampak positif dan sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru tanpa memandang dari perspektif gelar semata-mata.
Jika semua orang tidak menggunakan gelar, termasuk para pemimpin masayarakat akan menjadi lebih realistis dan tidak terbius serta ambisius akan gelar, memang satu sisi gelar mempunyai dampak yang positif bagi seseorang, mungkin sebagai motivasi untuk berbuat lebih baik ataupun memberikan dedikasi yang lebih untuk kemajuan dirinya, masyarakat, dan negara seperti mambuka lapangan pekerjaan, pemberdaya yang andal dan lain sebagainya. Namun yang perlu diingat adalah bagaimana kita menyikapi arti gelar itu sendiri bagi diri kita dan dari sudut perspektif mana kita melihat gelar itu sehingga kita dapat menggunakan gelar itu secara bijak dari segi waktu maupun tempat, untuk menjadikan bangsa ini lebih maju dan dapat mengurangi jumlah pengangguran bergelar, merubahnya menjadi pekerja yang mempunyai keahlian, kemampuan dan kredibilitas untuk bersaing ataupun menjadi pemberdaya yang andal.
0 komentar: on "Filsafat"
Posting Komentar